Sabtu, 08 Desember 2018


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
            Sebagai sebuah disiplin ilmu, akhlak-tasawuf sama dengan ilmu-ilmu lain, mempunyai objek studi yang tentu objek studi akhlak tasawuf berbeda dengan ilmu lain. Secara umum, objek materia yang menjadi pusat penyelidikan dan kajian ilmu pengetahuan adalah Tuhan, manusia dan alam. Dari objek material Tuhan, kemudian muncul berbagai ilmu pengetahuan seperti filsafat ketuhanan, teologi, dan metafisika sedang dari objek material manusia, lahir sosiologi, psikologi, antropologi, etika, kedokteran kesehatan dan lain-lainnya dan dari objek material alam, lahir ilmu fisika, kimia, dan lain-lainnya. Dengan kata lain, objek formal yang melahirkan berbagai ilmu pengetahuan dari objek material yang sama. Hasil dari penelitian dan kajian objek formal tersebut kemudian diformulasikan dalam sebuah sistematika sebgai ruang lingkup dari pembahasan disiplin keilmuan yang diteliti, sekaligus sebagai pembatas dan pembeda dengan berbagai keilmuan yang lain.
            Dari beberapa uraian di atas, diketahui bahwa objek material ilmu akhlak dan ilmu tasawuf  adalah sama, yaitu manusia. Sedang yang membedakan adalah objek formalnya. Objek formal dari ilmu akhlak adalah حال النفس  atau kondisi jiwa yang melahirka aktivitas horizontal, dan diorientasikan secara vertikal untuk mendapat ridho Allah swt., sedang ilmu tasawuf adalah حال النفس   atau kondisi jiwa yang melahirkan aktivitas vertikal, untuk kemudian meratakan hasil yang dicapai di tingkat vertikal tersebut, ke dalam realitas kehidupan sehari-hari seperti yang tergambar dalam paradigma piramida akhlak tasawuf di atas.


B. Rumusan Masalah
1.  Apa pengertian Ruang Lingkup Ilmu Akhlak?
2.  Apa saja cangkupan ruang lingkup ilmu akhlak ?
3. Pendekatan apa saja yang dilakukan untuk mengetahui ruang lingkup ilmu akhlak?
4.  Apa pengertian Ruang Lingkup Ilmu Tasawwuf?
5. Pendekatan apa saja yang dilakukan untuk mengetahui ruang lingkup ilmu Tasawwuf?


C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui pengertian Ruang Lingkup Ilmu Akhlak
2. Mengetahui beberapa cangkupan ruang lingkup ilmu akhlak
3. Mengetahui beberapa pendekatan yang dilakukan dalam ruang ligkup Akhlak
4. Mengetahui pengertian Ruang Lingkup Ilmu Tasawwuf
5 Mengetahui. beberapa pendekatan yang dilakukan dalam ruang lingkup ilmu Tasawwuf





BAB II
PEMBAHASAN

A.      Ruang lingkup Ilmu Akhlak
             Dalam paradigma piramida ilmu Akhlak diatas dapat dibaca bahwa ruang-lingkup ilmu akhlak adalah  حال النفس   atau kondisi  jiwa yang melahirkan aktivitas horizontal sesuai dengan suruhan Allah dan rasul-Nya. Namun demikian, seklipun aktivitas horizontal, sudah sesuai dengan suruhan Allah dan rasul-Nya sepertiyang dijelaskan dalam Alqur’an dan al-sunnah, aktivitas tersebut harus diorientasikan hanya untuk mendapatkan ridho Allah Swt. Hal tersebut dijelaskan Allah swt. Dalam Al Qur’an surat al An’am 162-163sebagai berikut:
قل ان صلا تى ونسكى ومحياى ومماتى لله رب العالمين
لا شريك له وبذلك امرت وانا اول المسلمين
Artinya: Katakanlah, sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, matiku, hanyalah untuk Allh swt. Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya, dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)[1]
Dengan demikian, dipahami bahwa segala aktivitas horizontal yang tidak diorientasikan untuk mendapatkan ridha-Nya tidak masuk ke dalam ruang lingkup pembahasan ilmu akhlak, tetapi bisa masuk kepada ruang-lingkup pembahasan ilmu etika atau ilmu sekuler  lainnya yang bersifat netralistik etik.


B. Ruang Lingkup ilmu Akhlak Mencangkup beberapa hal yakni:

1. Akhlah Terhadap Allah SWT (khalik)
Antara lain:
- Mencintai Allah melebihi cinta kepada apa dan siapapun juga dengan mempergunakan
       firmannnya dalam Al-Qur’an sebagai pedoman hidup dalam kehidupannya.
- Melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala laranganNya.
- Mengharapkan dan berusaha memperoleh keridohan Allah SWT.
- Mensyukuri nikmat dan karuniaNya.
- Menerima dengan iklas semua Qadha dan Qadhar Illahi setelah berikhtiar maksimal(sebanyak banyaknya).
- Mohon ampunan, bertaubat, dan bertawakal (berserah diri) hanya kepadaNya.

2. Akhlak Terhadap Makhluk/Hamba
Antara lain:
a)   Akhlak terhadap Rasulullah (Nabi Muhammad SAW). Antara lain:
-    Mencintai Rasulullah  secara tulus dengan mengikuti semua sunahnya.
-    Menjadikan Rasulullah sebagai idola,  suri teladan dalam hidup dan kehidupan.
-    Menjalankan apa yang disuruhnya dan tidak melakukan apa yang dilarangnya.
b)    Akhlah terhadap orang tua. Antara lain:
-      Mencintai mereka melebihi cinta kepada kerabat lainnya.
-      Berbuat baik kepada ibu bapak dengan sebaik-baiknya.
-    Mendoakan keselamatan bagi mereka kedatipun seorang ataupun keduanya telah meninggal dunia.
c)  Akhlak terhadap diri sendiri.
     Antara lain:
-   Memelihara kesucian diri.
-  Menutup aurat atau bagian tubuh yang tidak boleh kelihatan, menurut hukum agama dan akhlak islam.
d)  Akhlak terhadap keluarga, karib kerabat.
     Antara lain:
-   Saling membina rasa cinta dan kasih saying dalam kehidupan keluarga.
-   Saling menunaikan kewajiban untuk memperoleh hak.
-   Berbakti kepada ibu bapak.
e)  Akhlak terhapap tetangga. Antara lain:
-    Saling mengnjungi.
-    Saling membantu diwaktu senang maupun susah.
f)  Akhlak terhadap masyarakat
-    Memuliakan tamu
-    Menghormati nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan.
-    Saling menolong dalam melakukan kebijakan dan akwah.

3. Akhlak terhadap bukan manusia (Lingkungan Hidup).
 Antara lain:
- Sadar dan memelihara kelestarian lingkungan hidup.
- Menjaga, melestarikan dan memanfaatkan alam terutama hewani dan nabati, maupun fauna dan flora.
- Sayang terhadap sesama makhluk.
Kemudian, untuk lebih jauh mengetahui ruang lingkup ilmu akhlak dapat dilakukan berbagai pendekatan seperti, pendekatan etimologis, terminologis, dan epistemologis.
a.  Pendekatan Etimologis.
 Dalam bab ll disebutkan, bahwa akar kata akhlak ditemukan dalm beberapa ayat Al Qur’an sebagai konsep dasar  islam, yaitu bentuk akar khuluq dengan syakal rafa’ pada huruf lam (ل) dan khalqdengan syakal sukun pada uruf lm (ل) . syakal rafa’ menunjukkan kondisi jiwa seseorang seperti watak, akal, hati, kehendak dan lain lainnya, sedangkan syakal sukun menunjukkan kondisi luar yang dalam hal ini adalah berbagai bentuk aktivitas horizontal yang dilakukan manusia. Kondisi bathiniah yang mampu melahirkan aktivitas horizontal, menjadi kata kunci untuk diterimanya aktivitas horizontal,itu menjadi bagian dari pembahasan ilmu akhlak.
Dari pemahaman etimologis di atas diketahui bahwa setiap aktivitas horizontal, apapun bentuknya akn menjadi pembahasan ilmu akhlak atau dengan kata lain masuk ke dalam ruang lingkup ilmu akhlak apabila aktivitas horizontal itu dilakukan secara sadar, mengakar pada kedalaman hatinya dan disertai rasa tanggung jawab yang mendalam. Dengan demikian, segala aktivitas horizontal yang tidak dilakukan secara sadar, secara terpaksa dan diluar kamampuannya, maka aktivitas tersebut tidak termasuk ke dalam ruang lingkup akhlak.
Demikian juga misalnya, aktivitas horizontal seseorang yang secara lahiriah bernilai akhlaki seperti, berderma atau bahkan membaca Al Qur’an, namun aktivitas tersebut dilakukan di luar kesadarannya, karena gila atau bahkan dalam keadaan tidur , maka aktivitas tersebut tidak bisa disebut perilaku akhlaki dan karenanya tidak bisa dimasukkan ke dalam ruang lingkup pembahasan ilmu akhlak.
      Allah swt menjelaskan dalam Al Qur’an surah al-Baqarah 256:
لا اكراه فى الدين , قد تبين الرشد من الغى
Artinya : Tidak ada paksaan dalam agama islam sesungguhnya tidak jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah[2]  
Demikian juga disebutkan dalam sebuah hadits riwayat Imam Thabrani yang berasal dari Tsauban ra.
رفع عن امتي الخطأ والنسيان وما استكر هوا عليه

Artinya: dingkat (pena yang mencatatcatatan amal) dari ummatku (ketika aktivitas yang dilakukan berada di luar kesadarannya) keliru, lupa dan karena dalam keterpaksaan atasnya[3]
Dengan demikian ilmu akhlak sangat selektif, dalam arti tidak semua aktivitas horizontal dapat dimasukkan ke dalam ruang lingkup akhlak.
b. Pendekatan Terminologis
Dalam kajian ilmu akhlak, disamping melalui pendekatan etimologis, pendekatan terminologis menjadi sesuatu yang niscaya. Hal ini tidak saja karena ilmu akhlak adalah sebuah disiplin ilmu islam, tetapi juga agar ruang lingkup ilmu akhlak menjadi semakin konkret. Beberapa ulama berpendapat bahwa pendekatan akhlak secara terminologis, antara lain adalah:
Menurut Imam Al Ghazali:
فا لخلق عبارة عن هيئة في النفس راسخة عنها تصد رالافعال بسهولة ويسر من غير حاجة الى فكر وروية
Artinya: akhlak adalah kondisi jiwa yang tertanam dalam hati kemudian melahirkan aktivitas horizontal dengan mudah sekali tampa memerlukan pemikiran panjang[4].
Menurut Imam Maskawih:
حال للنفس داعية لها الى افعالها من  غير فكر ولا روية
Artinya: Akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tampa melalui pertimbangan pikiran terlebih dahulu[5].
Menurut Muhyiddin Ibnu Arabi dalam Rosihan Arwar:
حال للنفس به يفعل الانسان افعاله بلا روية ولا اختيار
Artinya: Akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorong manusia untuk berbuat tampa melalui pertimbangan dan pilihan terlebih dahulu[6].
            Dari pemahaman akhlak secara terminologis di atas, tergambar dengan jelas tentang ruang lingkup akhlak yaitu: Ilmu akhlak hanya membahas kondisi jiwa seseorang (halu al-nafs). Halu al-Nafs yang memjadi pembahasan ilmu akhlak adalah halu al-nafs yang melahirkan al-af’al atau aktivitas horizontal[7].
Al-af’al atau aktivitas horizontal tersebut dilakukan dengan suhulatin wa yusrin atau mudah sekali tampa adanya sebuah keterpaksaan. Disampin suhulatin wa yusrin, aktivitas horizontal tersebut dilakukan dengan ghoiru fikrin wa ruwiyatin atau tampa melalui proses pemikiran panjan. Artinya aktivitas horizontal tersebut sudah dilakukan secara terbiasa , kontinyu, sustainible atau istiqamah. Bahkan, merasa gelisah dan bahkan merasa berdosa bila tidak melakukannya. Aktivitas horizontal yang dilakukan secara terbiasa, kontinyu, sustainible atau istiqamah itu, harus sesuai dengan suruhan allah swt. dan  rosul-Nya. Artinya:  hanya aktivitas horizontal yang telah bernilai shar’i, tercantum didalam al-quran dan al-hadits.
 Karenanya perilaku akhlaki  adalah aktvitas orang-orang terdidik dan beriman kepada allah dan rosul-Nya, bukan perilaku orang-orang jahat seperti, mencuri, menipu, pemabok dan yang sejenisnya.
Yang menarik dalam uraian ini, adalah adanya pembatasan kondisi jiwa dalam kajian ruang lingkup hanya kepada  حال النفس  yang diartikan sebagai kodisi jiwa. Dalam bahasa Al Qu’an ,kondisi jiwa tersebut tidak hanya نفس  tetapi ada فؤادة, روح ,قلب,هوى  dan lain lainnya. Penetapan نفس  dalm pendekatan terminologis akhlak, dikarenakan نفس   adalah sumber energi yang dapat memberikan kekuatan bagi lahirnya sebuah aktivitas, sementara روح  adalah yang menjadikan keseluruhan potensi tubuh , baik yang bersifat fisik jasmani maupun jiwa rohani, menjadi hidup dan berfungsi sebagai mana mestinya , sedangkan قلب   adalah tempat berdomisilinya keseluruhan aspek kejiwaan tersebut.
Dari pemahaman akhlak secara terminologis ini, menjadi semakin jelas bahwa ruang lingkup ilmu akhlak hanya mengakomodir aktivitas horizontal yang lahir dari kondisi jiwa atau حال النفس  yang didukung ole akal , فؤادة  dan قلب  bukan  yang didukung oleh هوى  yang hanya akan melahirkan aktivitas horizontal yang menyimpang. Memasukkan aktivitas horizontal yang didukung oleh هوى  dalam pendekatan terminologis, hanya akan mencederai akhlak yang didekklarasikan oleh Nabi Muhammad dalam kapasitasnya sebagai nabi dan rasul Allah swt.
3. Pendekatan Epistimologis
Secara Epistimologis, ilmu akhlak tentu berbeda dengan disiplin ilmu yang bersifat descriptive empiric yang segala kajiannya dibangun dari hasil analisis terhadap fenomena objek, seperti apa adanya. Ilmu akhlak bersifat formal normatif yang membangun hasil kajiannya kepada sesuatu yang bersifat, bagaimana seharusnya seperti yang telah ditunjuk oleh Allah dan rasulnya, dan telah diletakkan dasar-dasanya oleh para rasul, nabi, auliya’, anbiya’serta para salafuna as-shaleh. Semua itu dalam rangka mengembangkan kesempurnaan potensial sebagai fitrah keimanan, pemberian Allah swt sejak zaman azali.
Ilmu akhlak di bangun di atas pemahaman terhadap al-quran sebagai wahyu, sehingga kalaupun di antara para pemikir aktifitas horizontal dalam kehidupan mempunyai latar belakang yang berbeda, namun objek yang dikaji dari aktifitas tersebut adalah di pijakkan kepada konsep yang sama yaitu al-quran yang diyakini sebaagai wahyu yang suci dalam suatu kebenaran yang mutlak seta berada dalam suatu pemeliharaan sang pemberi wahyu, yaitu Allah swt. Seperti yang di firman kan dalam al-quran surat al-hijr ayat 9 ;
انا نحن نزلنا الذكر وانا له لحفظون
Artinya: Sesungguhnya kamilah yang menurunkan al-quran, dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya.[8]
            Sedangkan dalam perstektif epistimologis, ilmu akhlak yang di bangun di atas sabda Muhmmad bin Abdillah dalam kapasitasnya sebagai nabi dan rosul Allah tentu tehindar dari perilaku dan tindakan yang ber tentangan dengan kehendak dzat yang mengutusnya yaitu Allah swt. Dengan demikian, apa yang dinamakan akhlak al madzmumah, tidak mendapatkan tempat dalam suatu di siplin keilmuan apapun termasuk dalam ilmu akhlak. Kehadiran akhlak al madzmumah hanya akan mengacaukan keberadaan ilmu akhlak yang merupakan bagian dari disiplin ilmu ke islaman. Ilmu akhlak adalah ilmu islam epistemologis, sama dan sejalan dengan disiplin ilmu islam yang secara epistemologis, sama dan sejalan dengan disiplin ilmu-ilmu islam lainnya seperti, ilmu fiqih, tauhid, tsawwuf dan lain-lain. Berbeda dengan ilmu-ilmu keislaman lain yang dibangun diatas konsep dasar keislaman al-quran dan al-hadist, ilmu akhlak disamping dibangun dan dikembangkan diatas konsep dasar keislaman, juga karena ilmu akhlak, lahir dan kembang dari ucapan indah yang melncur dari lisan yang mulia seorang Nabi dan Rosulullah saw. Seperti dalam hadits Abu Hurairah:
انما بعثت لاتمم صالح الاخلاق (رواه بخاري عن ابي هريرة)
Artinya: Bahwasannya aku diutus  adala untuk menyempurnakan kebaikan akhlak[9]

B.     Ruang Lingkup Ilmu Tasawwuf
Tasawuf adalah nama lain dari “Mistisisme dalam islam”. Di kalangan orientalis barat dikenal dengan sebutan “Sufisme”. Kata “Sufisme” merupakan istilah khusus mistisisme islam. Sehingga kata “sufisme” tidak ada pada mistisisme agama-agama lain.
Tasawuf bertujuan untuk memperoleh suatu hubungan khusus langsung dari Tuhan. Hubungan yang dimaksud mempunyai makna dengan penuh kesadaran, bahwa manusia sedang berada di hadirat Tuhan. Kesadaran tersebut akan menuju kontak komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Tuhan. Hal ini melalui cara bahwa manusia perlu mengasingkan diri. Keberadaannya yang dekat dengan Tuhan akan berbentuk “Ijtihad” (bersatu) dengan Tuhan. Demikian ini menjadi inti persoalan “Sofisme” baik pada agama islam maupun di luarnya.
Dengan pemikiran di atas, dapat dipahami bahwa “tasawuf/mistisisme islam” adalah suatu ilmu yang mempelajari suatu cara, bagaimana seseorang dapat mudah berada di hadirat Allah SWT (Tuhan). Maka gerakan “kejiwaan” penuh dirasakan guna memikirkan betul suatu hakikat kontak hubung yang mampu menelaah informasi dari Tuhannya.
Tasawuf atau mistisisme dalam islam beresensi pada hidup dan berkembang mulai dari bentuk hidup “kezuhudan” (menjauhi kemewahan duniawi). Tujuan tasawuf untuk bisa berhubungan langsung dengan Tuhan. Dengan maksud ada perasaan benar-benar berada di hadirat Tuhan. Para sufi beranggapan bahwa ibadah yang diselenggarakan dengan cara formal belum dianggap memuaskan karena belum memenuhi kebutuhan spiritual kaum sufi.
Dengan demikian, maka tampaklah jelas bahwa ruang lingkup ilmu tasawuf itu adalah hal-hal yang berkenaan dengan upaya-upaya/cara-cara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan yang bertujuan untuk memperoleh suatu hubungan khusus secara langsung dari Tuhan.
Kemudian, untuk mengetahui ruang lingkup tasawuf sebagai aktivitas vertikal bersama Allah swt dapat ditelusuri melalu beberapa pendektan seperti pendekatan etimologis, terminologis, dan epistemologis sebagai berikut:

A. Pendekatan Etimologis
            Secara etimologis, HAMKA merangkum berbagai hasil penelitian apara ahli dan sekalipun ia masih mempertanyakan hasil penelitian tersebut. Namun, karena sudah banyak ilmuan yang memakainya, maka ia menyarankan agar kalimat tasawuf tetap dikembalikan pengambilan kepada ilmu sharaf bab tafa’ul, yaitu tasawwuf, yataswwafu, tasawwufan, yagn berarti telah berpindah dari kehidupan biasa kepada kehidupan sufi.
            Ada juga yang menisbatkan tasawuf kepada safa, nama pegunungan disekitar masjid al-haram yang menjadi tempat sayyidah hajar melakukan penyerahan diri, tawakkal dan sabar serta ihklas dengan penuh keimanan kepada Allah swt. Alkisah, sayyidah hajar, istri nabi Allah Ibrahim bersama putranya nabi Allah Ismail, setelah sekian lama ditinggalkan oleh Nabi Ibrahim, kehabisan bekal untuk mempertahankan hidup bersama putranya. Namun demikian, sayyidah Hajar tetap tawakkal, sabar dan ihklas menerima keputusan Allah swt. Sayyidah Hajar yakin dan percaya Allah swt. Akan terus menjaganya.
            Disisi lain ada juga yang menisbatkan kepada shuf yang berarti kain woll kasar. Bertasawuf dalam pengertian ini berarti tidak melakukan sesuatu yang masuk kategoribermewah-mewah sampai melupakan Allah swt. Penisbatan ini, konon dikarenakan para pengikut Yesuit yang mendahulukan misi keahiratan setelah ikrar islam dan bahkan telah menguasai ajaran islam, al-Qur’an dan al-Hadits, terus melakukan aktivitas vertikal bersama Allah swt, namun secara kaltural mereka tetap tidak merubah kebiasaanya dalam hal berpakaian. Pakaian shuf atau woll kasar adalah pakaian yang disenangi Nabi Isa sedangkan Nabi Muhammad saw, senang memakain pakaian yang bahan bakunya dari qaththan atau kapas. Bertasawuf dalam pengertian ini adalah lebih mengutamakan aktivitas vertikal dibanding dengan bermewah-mewah dalam berpakain, karena bermewah-mewah sangat terbuka peluang untuk jauh dari Allah swt.

B. Pendekatan Termenologis
            Dari beberapa pendekatan etimologis diatas, para ulama dan para ahli kemudian mencoba untuk menyusun berbagai pengertian tasawu agar dapat lebih dipahami bahwa tasawuf adalah merupakan bagian dari ilmu keislaman,
            Disisi lain pendekatan terminologis ini, dipahami bahwa tasawuf adalah upaya pembersihan hati atau batiniah(safyu al-kaib)dalam rangka mudahnya melakukan aktivitas vertikal bersama Allah sehingga tercapai mushahadah, makrifah, dan hub, untuk kemudian menyiapkan dirinya menaburkan kedamaian dan kesujukan hati tersebut kepada sesama dengan mudah, melalui aktivitas horizontal, meneguhkan janji dengan Allah dalam berhakikah serta mengikuti suri tauladan Rasulullah saw. Dalam bershari’ah. Berbeda dengan ahklak yang mengedepankan حال النفس, taswuf lebih mengutamakan shafyu al-kalb atau bersihnya hati. Hal ini bisa dipahami karena tasawuf lebih mengutamakan tercapainya sebuah kedamaian dan kesejukan spiritual dalam mushahadah, hakikah, ma’rifah, dan hub bersama keagungan dan kebesaran Allah swt. sekalipun demikian, tasawuf mengajarkan agar apa yang dialami secara spiritual dalam aktivitas vertikal, dapatnya diratakan dalam pentas kehidupan sehari-hari dalam berbagai aktivitas horizontal sebagai upaya meratakan rahmatan li al-alamin.
C. Pendekatan Epistimologis
            Aktivitas vertikal yang dibangun tasawuf berbeda dengan aktivitas vertikal dalam ilmu mistik, ilmu metafisik, ilmu spiritual atau ilmu apapun namanya. Aktivitas vertikalyang dibangun ilmu tasawuf, secara epistemologis, dipijakkan diatas pondasi wahyu, yang dalam hal ini adalah al-Qur’an dan al-Hadits, yang kebaikan dan kesuciannya dipelihara oleh Allah swt. Artinya:kalau al-Qur’an dan al-Hadits sebgai input kajian, maka ilmu tasawuf sebagai outputnya sudah bisa dipastikan tidak akan menemukan kesesatan, khususnya dalam menemukan kebenaran Allah swt. melalui aktivitas vertikal yang dilakukannya.
Dari keseluruhan ruang lingkup ilmu taasawuf yang dipjakkan kepada petunjuk al-Qur’an dan al-Hadist diatas oleh para sufi dijalankan sebagai upaya penguatan dan pensucian hatinya dalam rangka mudahnya melakukan aktivitas vertikal mushadah, muhadarah, ma’rifat, hub dan isq bersama kebesaran dan keagungan Allah swt. ilmu tasawuf memberikan bimbingan kepada salik atau penempuh jalan menuju Allah swt. sebagai realitas mutlaq sesuai dengan petunjuk al-Qur’an dan al-Hadits. Untuk itu dalam pelaksanakannya, para sufi melakukannya dengan penuh mujahadah, tawakal, ridho, sabar, ihklas, tawaddu’, itiqamah, waro’, dan lain-lainnya. Dengan demikian, ruang lingkup tasawuf dan akhlak mempunyai kesamaan dalam menjadikan kondisi jiwa sebagai sentral dari objek kajiannya. Hanya saja, atau shafya al-qalb, sedangkan dalam akhlak adalah tazkiyatul al-nafs yang juga mengambil tempat didalam hati.
            Kemudian, yang perlu digarisbawahi bahwa aktivitas vertikal, yang menjadi objek kajiannya dalam ruang lingkup tasawuf dan aktivitas horizontal, yang menjadi kajian dalam ruang lingkup akhlak, secara keseluruhan menjadikan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai pijakannya. Hal ini dikarenakan keduanya sejalan dan sebangun dengan kesempurnaan potensial atau fitrah keimanan yang ditanamkan oleh Allah swt. pada setiap diri manusia sejak zaman azali.











BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
·         Ruang-lingkup ilmu akhlak adalah  حال النفس   atau kondisi  jiwa yang melahirkan aktivitas horizontal sesuai dengan suruhan Allah dan rasul-Nya. Namun demikian, seklipun aktivitas horizontal, sudah sesuai dengan suruhan Allah dan rasul-Nya sepertiyang dijelaskan dalam Alqur’an dan al-sunnah, aktivitas tersebut harus diorientasikan hanya untuk mendapatkan ridho Allah Swt. Hal tersebut dijelaskan Allah swt.

·         Tasawuf bertujuan untuk memperoleh suatu hubungan khusus langsung dari Tuhan. Hubungan yang dimaksud mempunyai makna dengan penuh kesadaran, bahwa manusia sedang berada di hadirat Tuhan. Kesadaran tersebut akan menuju kontak komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Tuhan.






Daftar Pustaka
Al- Quran dan Terjemahnya, Jakarta :Depag RI, 1984
Ahmad bin Muhammad bin Ya’qub al-Razi “Miskawih”, Tahdzibu al-Akhlaq wa tathiru al-A’raq, (Beirut: Manshuratu dari Maktabati al-Hayat,tth),51
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, ihya’ Ulumuddin, juz lll (Beirut,Daru al- kutub al-ilmiah,2008),68
Ibnu Maskawih dalam Rosihan Anwar, Akhlak tasawuf, (Bandung: Pusaka setia, 2010),14
Jalaluddin Abdurrahman bn Abi Bakar al-suyuti, Al-jami’u al-slaghir jus II, (Shirkah al-Nur Asia,tth), 24



[1] Al Quran dan terjemahnya,(Jakarta:Depag RI, 1984), 216
[2] Al Quran Dan Terjemahnya, 63
[3] Jalaluddin Abdurrahman bn Abi Bakar al-suyuti, Al-jami’u al-slaghir jus II, (Shirkah al-Nur Asia,tth), 24
[4] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, ihya’ Ulumuddin, juz lll (Beirut,Daru al- kutub al-ilmiah,2008),68
[5] Ahmad bin Muhammad bin Ya’qub al-Razi “Miskawih”, Tahdzibu al-Akhlaq wa tathiru al-A’raq, (Beirut: Manshuratu dari Maktabati al-Hayat,tth),51
[6] Ibnu Maskawih dalam Rosihan Anwar, Akhlak tasawuf, (Bandung: Pusaka setia, 2010),14
[7] Aktivitas vertical masuk ke dalam ruang lingkup pembahasan ilmu tasawuf
[8] Al-quran dan terjemahannya, 391
[9]Jalaluddin Abdurrahman  bin Abu Bakar al suyuti, Al jamiu al Sangir (syirkah Nur Asia,tth), 103

Tidak ada komentar:

Posting Komentar