BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai
sebuah disiplin ilmu, akhlak-tasawuf sama dengan ilmu-ilmu lain, mempunyai
objek studi yang tentu objek studi akhlak tasawuf berbeda dengan ilmu lain.
Secara umum, objek materia yang menjadi pusat penyelidikan dan kajian ilmu
pengetahuan adalah Tuhan, manusia dan alam. Dari objek material Tuhan, kemudian
muncul berbagai ilmu pengetahuan seperti filsafat ketuhanan, teologi, dan
metafisika sedang dari objek material manusia, lahir sosiologi, psikologi,
antropologi, etika, kedokteran kesehatan dan lain-lainnya dan dari objek
material alam, lahir ilmu fisika, kimia, dan lain-lainnya. Dengan kata lain,
objek formal yang melahirkan berbagai ilmu pengetahuan dari objek material yang
sama. Hasil dari penelitian dan kajian objek formal tersebut kemudian
diformulasikan dalam sebuah sistematika sebgai ruang lingkup dari pembahasan
disiplin keilmuan yang diteliti, sekaligus sebagai pembatas dan pembeda dengan
berbagai keilmuan yang lain.
Dari
beberapa uraian di atas, diketahui bahwa objek material ilmu akhlak dan ilmu
tasawuf adalah sama, yaitu manusia.
Sedang yang membedakan adalah objek formalnya. Objek formal dari ilmu akhlak
adalah حال النفس atau kondisi jiwa yang melahirka aktivitas
horizontal, dan diorientasikan secara vertikal untuk mendapat ridho Allah swt.,
sedang ilmu tasawuf adalah حال النفس atau kondisi jiwa yang melahirkan
aktivitas vertikal, untuk kemudian meratakan hasil yang dicapai di tingkat
vertikal tersebut, ke dalam realitas kehidupan sehari-hari seperti yang
tergambar dalam paradigma piramida akhlak tasawuf di atas.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Ruang Lingkup Ilmu Akhlak?
2. Apa saja cangkupan ruang lingkup ilmu akhlak
?
3.
Pendekatan apa saja yang dilakukan untuk mengetahui ruang lingkup ilmu akhlak?
4. Apa pengertian Ruang Lingkup Ilmu Tasawwuf?
5.
Pendekatan apa saja yang dilakukan untuk mengetahui ruang lingkup ilmu
Tasawwuf?
C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui pengertian Ruang
Lingkup Ilmu Akhlak
2. Mengetahui beberapa cangkupan
ruang lingkup ilmu akhlak
3. Mengetahui beberapa pendekatan
yang dilakukan dalam ruang ligkup Akhlak
4. Mengetahui pengertian Ruang
Lingkup Ilmu Tasawwuf
5 Mengetahui. beberapa pendekatan
yang dilakukan dalam ruang lingkup ilmu Tasawwuf
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ruang lingkup Ilmu Akhlak
Dalam paradigma piramida ilmu
Akhlak diatas dapat dibaca bahwa ruang-lingkup ilmu akhlak adalah حال النفس
atau kondisi
jiwa yang melahirkan aktivitas horizontal sesuai dengan suruhan Allah
dan rasul-Nya. Namun demikian, seklipun aktivitas horizontal, sudah sesuai
dengan suruhan Allah dan rasul-Nya sepertiyang dijelaskan dalam Alqur’an dan
al-sunnah, aktivitas tersebut harus diorientasikan hanya untuk mendapatkan
ridho Allah Swt. Hal tersebut dijelaskan Allah swt. Dalam Al Qur’an surat al
An’am 162-163sebagai berikut:
قل ان صلا تى ونسكى ومحياى ومماتى لله رب
العالمين
لا شريك له وبذلك امرت وانا اول المسلمين
Artinya:
Katakanlah, sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, matiku, hanyalah untuk
Allh swt. Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya, dan demikian itulah yang
diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri
(kepada Allah)[1]
Dengan
demikian, dipahami bahwa segala aktivitas horizontal yang tidak diorientasikan
untuk mendapatkan ridha-Nya tidak masuk ke dalam ruang lingkup pembahasan ilmu
akhlak, tetapi bisa masuk kepada ruang-lingkup pembahasan ilmu etika atau ilmu
sekuler lainnya yang bersifat
netralistik etik.
B. Ruang Lingkup ilmu Akhlak Mencangkup
beberapa hal yakni:
1. Akhlah Terhadap Allah SWT (khalik)
Antara lain:
- Mencintai Allah melebihi cinta kepada apa
dan siapapun juga dengan mempergunakan
firmannnya dalam Al-Qur’an sebagai pedoman hidup dalam kehidupannya.
- Melaksanakan segala perintah dan menjauhi
segala laranganNya.
- Mengharapkan dan berusaha memperoleh
keridohan Allah SWT.
- Mensyukuri nikmat dan karuniaNya.
- Menerima dengan iklas semua Qadha dan Qadhar Illahi
setelah berikhtiar maksimal(sebanyak banyaknya).
- Mohon ampunan, bertaubat, dan bertawakal
(berserah diri) hanya kepadaNya.
2. Akhlak Terhadap Makhluk/Hamba
Antara lain:
a) Akhlak
terhadap Rasulullah (Nabi Muhammad SAW). Antara lain:
- Mencintai
Rasulullah secara tulus dengan mengikuti
semua sunahnya.
- Menjadikan
Rasulullah sebagai idola, suri teladan
dalam hidup dan kehidupan.
- Menjalankan apa yang disuruhnya dan tidak
melakukan apa yang dilarangnya.
b) Akhlah terhadap orang tua. Antara lain:
-
Mencintai mereka melebihi cinta kepada kerabat lainnya.
-
Berbuat baik kepada ibu bapak dengan sebaik-baiknya.
- Mendoakan
keselamatan bagi mereka kedatipun seorang ataupun keduanya telah meninggal dunia.
c) Akhlak
terhadap diri sendiri.
Antara
lain:
- Memelihara kesucian diri.
- Menutup
aurat atau bagian tubuh yang tidak boleh kelihatan, menurut hukum agama dan
akhlak islam.
d) Akhlak terhadap keluarga, karib kerabat.
Antara lain:
- Saling
membina rasa cinta dan kasih saying dalam kehidupan keluarga.
- Saling
menunaikan kewajiban untuk memperoleh hak.
- Berbakti
kepada ibu bapak.
e) Akhlak
terhapap tetangga. Antara lain:
- Saling
mengnjungi.
- Saling
membantu diwaktu senang maupun susah.
f) Akhlak
terhadap masyarakat
- Memuliakan
tamu
- Menghormati
nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan.
- Saling
menolong dalam melakukan kebijakan dan akwah.
3. Akhlak terhadap bukan manusia
(Lingkungan Hidup).
Antara lain:
- Sadar dan memelihara kelestarian
lingkungan hidup.
- Menjaga, melestarikan
dan memanfaatkan alam terutama hewani dan nabati, maupun fauna dan flora.
- Sayang
terhadap sesama makhluk.
Kemudian, untuk
lebih jauh mengetahui ruang lingkup ilmu akhlak dapat dilakukan berbagai
pendekatan seperti, pendekatan etimologis, terminologis, dan epistemologis.
a. Pendekatan Etimologis.
Dalam bab ll
disebutkan, bahwa akar kata akhlak ditemukan dalm beberapa ayat Al Qur’an
sebagai konsep dasar islam, yaitu bentuk
akar khuluq dengan syakal rafa’ pada huruf lam (ل)
dan khalqdengan syakal sukun pada uruf lm (ل)
. syakal rafa’ menunjukkan kondisi jiwa seseorang seperti watak, akal, hati,
kehendak dan lain lainnya, sedangkan syakal sukun menunjukkan kondisi luar yang
dalam hal ini adalah berbagai bentuk aktivitas horizontal yang dilakukan
manusia. Kondisi bathiniah yang mampu melahirkan aktivitas horizontal, menjadi
kata kunci untuk diterimanya aktivitas horizontal,itu menjadi bagian dari
pembahasan ilmu akhlak.
Dari
pemahaman etimologis di atas diketahui bahwa setiap aktivitas horizontal,
apapun bentuknya akn menjadi pembahasan ilmu akhlak atau dengan kata lain masuk
ke dalam ruang lingkup ilmu akhlak apabila aktivitas horizontal itu dilakukan
secara sadar, mengakar pada kedalaman hatinya dan disertai rasa tanggung jawab
yang mendalam. Dengan demikian, segala aktivitas horizontal yang tidak
dilakukan secara sadar, secara terpaksa dan diluar kamampuannya, maka aktivitas
tersebut tidak termasuk ke dalam ruang lingkup akhlak.
Demikian
juga misalnya, aktivitas horizontal seseorang yang secara lahiriah bernilai
akhlaki seperti, berderma atau bahkan membaca Al Qur’an, namun aktivitas
tersebut dilakukan di luar kesadarannya, karena gila atau bahkan dalam keadaan
tidur , maka aktivitas tersebut tidak bisa disebut perilaku akhlaki dan
karenanya tidak bisa dimasukkan ke dalam ruang lingkup pembahasan ilmu akhlak.
Allah swt menjelaskan dalam Al Qur’an
surah al-Baqarah 256:
لا اكراه فى الدين , قد تبين الرشد من الغى
Artinya :
Tidak ada paksaan dalam agama islam sesungguhnya tidak jelas jalan yang benar
daripada jalan yang salah[2]
Demikian
juga disebutkan dalam sebuah hadits riwayat Imam Thabrani yang berasal dari
Tsauban ra.
رفع عن امتي الخطأ والنسيان وما استكر هوا
عليه
Artinya:
dingkat (pena yang mencatatcatatan amal) dari ummatku (ketika aktivitas yang dilakukan
berada di luar kesadarannya) keliru, lupa dan karena dalam keterpaksaan atasnya[3]
Dengan
demikian ilmu akhlak sangat selektif, dalam arti tidak semua aktivitas
horizontal dapat dimasukkan ke dalam ruang lingkup akhlak.
b. Pendekatan Terminologis
Dalam kajian
ilmu akhlak, disamping melalui pendekatan etimologis, pendekatan terminologis
menjadi sesuatu yang niscaya. Hal ini tidak saja karena ilmu akhlak adalah
sebuah disiplin ilmu islam, tetapi juga agar ruang lingkup ilmu akhlak menjadi
semakin konkret. Beberapa ulama berpendapat bahwa pendekatan akhlak secara
terminologis, antara lain adalah:
Menurut Imam
Al Ghazali:
فا لخلق عبارة عن هيئة في النفس راسخة عنها
تصد رالافعال بسهولة ويسر من غير حاجة الى فكر وروية
Artinya:
akhlak adalah kondisi jiwa yang tertanam dalam hati kemudian melahirkan
aktivitas horizontal dengan mudah sekali tampa memerlukan pemikiran panjang[4].
Menurut Imam
Maskawih:
حال للنفس داعية لها الى افعالها من غير فكر ولا روية
Artinya:
Akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan
perbuatan-perbuatan tampa melalui pertimbangan pikiran terlebih dahulu[5].
Menurut
Muhyiddin Ibnu Arabi dalam Rosihan Arwar:
حال للنفس به يفعل الانسان افعاله بلا روية
ولا اختيار
Artinya:
Akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorong manusia untuk berbuat tampa
melalui pertimbangan dan pilihan terlebih dahulu[6].
Dari pemahaman akhlak secara
terminologis di atas, tergambar dengan jelas tentang ruang lingkup akhlak
yaitu: Ilmu akhlak hanya membahas kondisi jiwa seseorang (halu al-nafs). Halu
al-Nafs yang memjadi pembahasan ilmu akhlak adalah halu al-nafs yang melahirkan
al-af’al atau aktivitas horizontal[7].
Al-af’al atau aktivitas horizontal tersebut dilakukan
dengan suhulatin wa yusrin atau mudah sekali tampa adanya sebuah keterpaksaan.
Disampin suhulatin wa yusrin, aktivitas horizontal tersebut dilakukan dengan
ghoiru fikrin wa ruwiyatin atau tampa melalui proses pemikiran panjan. Artinya
aktivitas horizontal tersebut sudah dilakukan secara terbiasa , kontinyu,
sustainible atau istiqamah. Bahkan, merasa gelisah dan bahkan merasa berdosa
bila tidak melakukannya. Aktivitas horizontal yang dilakukan secara terbiasa,
kontinyu, sustainible atau istiqamah itu, harus sesuai dengan suruhan allah
swt. dan rosul-Nya. Artinya: hanya aktivitas horizontal yang telah
bernilai shar’i, tercantum didalam al-quran dan al-hadits.
Karenanya perilaku akhlaki adalah aktvitas orang-orang terdidik dan
beriman kepada allah dan rosul-Nya, bukan perilaku orang-orang jahat seperti,
mencuri, menipu, pemabok dan yang sejenisnya.
Yang menarik
dalam uraian ini, adalah adanya pembatasan kondisi jiwa dalam kajian ruang
lingkup hanya kepada حال النفس yang
diartikan sebagai kodisi jiwa. Dalam bahasa Al Qu’an ,kondisi jiwa tersebut
tidak hanya نفس tetapi ada فؤادة, روح ,قلب,هوى dan lain lainnya. Penetapan نفس dalm pendekatan
terminologis akhlak, dikarenakan نفس adalah sumber energi yang dapat memberikan
kekuatan bagi lahirnya sebuah aktivitas, sementara روح
adalah yang menjadikan
keseluruhan potensi tubuh , baik yang bersifat fisik jasmani maupun jiwa
rohani, menjadi hidup dan berfungsi sebagai mana mestinya , sedangkan قلب adalah tempat berdomisilinya keseluruhan
aspek kejiwaan tersebut.
Dari pemahaman akhlak secara terminologis ini, menjadi
semakin jelas bahwa ruang lingkup ilmu akhlak hanya mengakomodir aktivitas
horizontal yang lahir dari kondisi jiwa atau حال النفس
yang didukung ole akal , فؤادة dan
قلب bukan
yang didukung oleh هوى yang hanya akan melahirkan aktivitas
horizontal yang menyimpang. Memasukkan aktivitas horizontal yang didukung oleh هوى dalam pendekatan terminologis, hanya akan
mencederai akhlak yang didekklarasikan oleh Nabi Muhammad dalam kapasitasnya
sebagai nabi dan rasul Allah swt.
3. Pendekatan Epistimologis
Secara Epistimologis, ilmu akhlak tentu berbeda dengan
disiplin ilmu yang bersifat descriptive empiric yang segala kajiannya dibangun
dari hasil analisis terhadap fenomena objek, seperti apa adanya. Ilmu akhlak
bersifat formal normatif yang membangun hasil kajiannya kepada sesuatu yang
bersifat, bagaimana seharusnya seperti yang telah ditunjuk oleh Allah dan
rasulnya, dan telah diletakkan dasar-dasanya oleh para rasul, nabi, auliya’,
anbiya’serta para salafuna as-shaleh. Semua itu dalam rangka mengembangkan
kesempurnaan potensial sebagai fitrah keimanan, pemberian Allah swt sejak zaman
azali.
Ilmu akhlak di bangun di atas pemahaman terhadap
al-quran sebagai wahyu, sehingga kalaupun di antara para pemikir aktifitas
horizontal dalam kehidupan mempunyai latar belakang yang berbeda, namun objek
yang dikaji dari aktifitas tersebut adalah di pijakkan kepada konsep yang sama
yaitu al-quran yang diyakini sebaagai wahyu yang suci dalam suatu kebenaran
yang mutlak seta berada dalam suatu pemeliharaan sang pemberi wahyu, yaitu
Allah swt. Seperti yang di firman kan dalam al-quran surat al-hijr ayat 9 ;
انا نحن نزلنا الذكر وانا له لحفظون
Artinya: Sesungguhnya kamilah yang menurunkan al-quran, dan
sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya.[8]
Sedangkan dalam perstektif
epistimologis, ilmu akhlak yang di bangun di atas sabda Muhmmad bin Abdillah
dalam kapasitasnya sebagai nabi dan rosul Allah tentu tehindar dari perilaku
dan tindakan yang ber tentangan dengan kehendak dzat yang mengutusnya yaitu
Allah swt. Dengan demikian, apa yang dinamakan akhlak al madzmumah, tidak
mendapatkan tempat dalam suatu di siplin keilmuan apapun termasuk dalam ilmu
akhlak. Kehadiran akhlak al madzmumah hanya akan mengacaukan keberadaan ilmu
akhlak yang merupakan bagian dari disiplin ilmu ke islaman. Ilmu akhlak adalah
ilmu islam epistemologis, sama dan sejalan dengan disiplin ilmu islam yang
secara epistemologis, sama dan sejalan dengan disiplin ilmu-ilmu islam lainnya
seperti, ilmu fiqih, tauhid, tsawwuf dan lain-lain. Berbeda dengan ilmu-ilmu
keislaman lain yang dibangun diatas konsep dasar keislaman al-quran dan
al-hadist, ilmu akhlak disamping dibangun dan dikembangkan diatas konsep dasar
keislaman, juga karena ilmu akhlak, lahir dan kembang dari ucapan indah yang melncur
dari lisan yang mulia seorang Nabi dan Rosulullah saw. Seperti dalam hadits Abu
Hurairah:
انما بعثت لاتمم صالح الاخلاق (رواه بخاري عن ابي هريرة)
Artinya: Bahwasannya aku diutus adala untuk menyempurnakan kebaikan akhlak[9]
B.
Ruang Lingkup Ilmu Tasawwuf
Tasawuf adalah nama lain dari “Mistisisme dalam
islam”. Di kalangan orientalis barat dikenal dengan sebutan “Sufisme”. Kata
“Sufisme” merupakan istilah khusus mistisisme islam. Sehingga kata “sufisme”
tidak ada pada mistisisme agama-agama lain.
Tasawuf bertujuan untuk memperoleh suatu hubungan
khusus langsung dari Tuhan. Hubungan yang dimaksud mempunyai makna dengan penuh
kesadaran, bahwa manusia sedang berada di hadirat Tuhan. Kesadaran tersebut
akan menuju kontak komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Tuhan. Hal
ini melalui cara bahwa manusia perlu mengasingkan diri. Keberadaannya yang
dekat dengan Tuhan akan berbentuk “Ijtihad” (bersatu) dengan Tuhan. Demikian
ini menjadi inti persoalan “Sofisme” baik pada agama islam maupun di luarnya.
Dengan pemikiran di atas, dapat dipahami bahwa
“tasawuf/mistisisme islam” adalah suatu ilmu yang mempelajari suatu cara,
bagaimana seseorang dapat mudah berada di hadirat Allah SWT (Tuhan). Maka
gerakan “kejiwaan” penuh dirasakan guna memikirkan betul suatu hakikat kontak
hubung yang mampu menelaah informasi dari Tuhannya.
Tasawuf atau mistisisme dalam islam beresensi pada
hidup dan berkembang mulai dari bentuk hidup “kezuhudan” (menjauhi kemewahan
duniawi). Tujuan tasawuf untuk bisa berhubungan langsung dengan Tuhan. Dengan
maksud ada perasaan benar-benar berada di hadirat Tuhan. Para sufi beranggapan
bahwa ibadah yang diselenggarakan dengan cara formal belum dianggap memuaskan
karena belum memenuhi kebutuhan spiritual kaum sufi.
Dengan demikian, maka tampaklah jelas bahwa ruang
lingkup ilmu tasawuf itu adalah hal-hal yang berkenaan dengan
upaya-upaya/cara-cara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan yang bertujuan untuk
memperoleh suatu hubungan khusus secara langsung dari Tuhan.
Kemudian, untuk mengetahui ruang lingkup tasawuf
sebagai aktivitas vertikal bersama Allah swt dapat ditelusuri melalu beberapa
pendektan seperti pendekatan etimologis, terminologis, dan epistemologis
sebagai berikut:
A. Pendekatan Etimologis
Secara
etimologis, HAMKA merangkum berbagai hasil penelitian apara ahli dan sekalipun
ia masih mempertanyakan hasil penelitian tersebut. Namun, karena sudah banyak
ilmuan yang memakainya, maka ia menyarankan agar kalimat tasawuf tetap
dikembalikan pengambilan kepada ilmu sharaf bab tafa’ul, yaitu tasawwuf,
yataswwafu, tasawwufan, yagn berarti telah berpindah dari kehidupan biasa
kepada kehidupan sufi.
Ada
juga yang menisbatkan tasawuf kepada safa, nama pegunungan disekitar masjid
al-haram yang menjadi tempat sayyidah hajar melakukan penyerahan diri, tawakkal
dan sabar serta ihklas dengan penuh keimanan kepada Allah swt. Alkisah,
sayyidah hajar, istri nabi Allah Ibrahim bersama putranya nabi Allah Ismail,
setelah sekian lama ditinggalkan oleh Nabi Ibrahim, kehabisan bekal untuk
mempertahankan hidup bersama putranya. Namun demikian, sayyidah Hajar tetap
tawakkal, sabar dan ihklas menerima keputusan Allah swt. Sayyidah Hajar yakin
dan percaya Allah swt. Akan terus menjaganya.
Disisi
lain ada juga yang menisbatkan kepada shuf yang berarti kain woll kasar.
Bertasawuf dalam pengertian ini berarti tidak melakukan sesuatu yang masuk
kategoribermewah-mewah sampai melupakan Allah swt. Penisbatan ini, konon
dikarenakan para pengikut Yesuit yang mendahulukan misi keahiratan setelah
ikrar islam dan bahkan telah menguasai ajaran islam, al-Qur’an dan al-Hadits,
terus melakukan aktivitas vertikal bersama Allah swt, namun secara kaltural
mereka tetap tidak merubah kebiasaanya dalam hal berpakaian. Pakaian shuf atau
woll kasar adalah pakaian yang disenangi Nabi Isa sedangkan Nabi Muhammad saw,
senang memakain pakaian yang bahan bakunya dari qaththan atau kapas. Bertasawuf
dalam pengertian ini adalah lebih mengutamakan aktivitas vertikal dibanding dengan
bermewah-mewah dalam berpakain, karena bermewah-mewah sangat terbuka peluang
untuk jauh dari Allah swt.
B. Pendekatan Termenologis
Dari
beberapa pendekatan etimologis diatas, para ulama dan para ahli kemudian
mencoba untuk menyusun berbagai pengertian tasawu agar dapat lebih dipahami
bahwa tasawuf adalah merupakan bagian dari ilmu keislaman,
Disisi
lain pendekatan terminologis ini, dipahami bahwa tasawuf adalah upaya
pembersihan hati atau batiniah(safyu al-kaib)dalam rangka mudahnya melakukan
aktivitas vertikal bersama Allah sehingga tercapai mushahadah, makrifah, dan
hub, untuk kemudian menyiapkan dirinya menaburkan kedamaian dan kesujukan hati
tersebut kepada sesama dengan mudah, melalui aktivitas horizontal, meneguhkan
janji dengan Allah dalam berhakikah serta mengikuti suri tauladan Rasulullah
saw. Dalam bershari’ah. Berbeda dengan ahklak yang mengedepankan حال النفس, taswuf lebih mengutamakan shafyu al-kalb
atau bersihnya hati. Hal ini bisa dipahami karena tasawuf lebih mengutamakan
tercapainya sebuah kedamaian dan kesejukan spiritual dalam mushahadah, hakikah,
ma’rifah, dan hub bersama keagungan dan kebesaran Allah swt. sekalipun
demikian, tasawuf mengajarkan agar apa yang dialami secara spiritual dalam
aktivitas vertikal, dapatnya diratakan dalam pentas kehidupan sehari-hari dalam
berbagai aktivitas horizontal sebagai upaya meratakan rahmatan li al-alamin.
C. Pendekatan Epistimologis
Aktivitas vertikal yang dibangun tasawuf
berbeda dengan aktivitas vertikal dalam ilmu mistik, ilmu metafisik, ilmu
spiritual atau ilmu apapun namanya. Aktivitas vertikalyang dibangun ilmu
tasawuf, secara epistemologis, dipijakkan diatas pondasi wahyu, yang dalam hal
ini adalah al-Qur’an dan al-Hadits, yang kebaikan dan kesuciannya dipelihara
oleh Allah swt. Artinya:kalau al-Qur’an dan al-Hadits sebgai input kajian, maka
ilmu tasawuf sebagai outputnya sudah bisa dipastikan tidak akan menemukan
kesesatan, khususnya dalam menemukan kebenaran Allah swt. melalui aktivitas
vertikal yang dilakukannya.
Dari keseluruhan ruang lingkup ilmu
taasawuf yang dipjakkan kepada petunjuk al-Qur’an dan al-Hadist diatas oleh
para sufi dijalankan sebagai upaya penguatan dan pensucian hatinya dalam rangka
mudahnya melakukan aktivitas vertikal mushadah, muhadarah, ma’rifat, hub dan
isq bersama kebesaran dan keagungan Allah swt. ilmu tasawuf memberikan
bimbingan kepada salik atau penempuh jalan menuju Allah swt. sebagai realitas
mutlaq sesuai dengan petunjuk al-Qur’an dan al-Hadits. Untuk itu dalam
pelaksanakannya, para sufi melakukannya dengan penuh mujahadah, tawakal, ridho,
sabar, ihklas, tawaddu’, itiqamah, waro’, dan lain-lainnya. Dengan demikian,
ruang lingkup tasawuf dan akhlak mempunyai kesamaan dalam menjadikan kondisi
jiwa sebagai sentral dari objek kajiannya. Hanya saja, atau shafya al-qalb,
sedangkan dalam akhlak adalah tazkiyatul al-nafs yang juga mengambil tempat
didalam hati.
Kemudian,
yang perlu digarisbawahi bahwa aktivitas vertikal, yang menjadi objek kajiannya
dalam ruang lingkup tasawuf dan aktivitas horizontal, yang menjadi kajian dalam
ruang lingkup akhlak, secara keseluruhan menjadikan al-Qur’an dan al-Hadits
sebagai pijakannya. Hal ini dikarenakan keduanya sejalan dan sebangun dengan
kesempurnaan potensial atau fitrah keimanan yang ditanamkan oleh Allah swt.
pada setiap diri manusia sejak zaman azali.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
·
Ruang-lingkup
ilmu akhlak adalah حال النفس
atau kondisi
jiwa yang melahirkan aktivitas horizontal sesuai dengan suruhan Allah
dan rasul-Nya. Namun demikian, seklipun aktivitas horizontal, sudah sesuai
dengan suruhan Allah dan rasul-Nya sepertiyang dijelaskan dalam Alqur’an dan
al-sunnah, aktivitas tersebut harus diorientasikan hanya untuk mendapatkan
ridho Allah Swt. Hal tersebut dijelaskan Allah swt.
·
Tasawuf bertujuan untuk memperoleh suatu hubungan
khusus langsung dari Tuhan. Hubungan yang dimaksud mempunyai makna dengan penuh
kesadaran, bahwa manusia sedang berada di hadirat Tuhan. Kesadaran tersebut
akan menuju kontak komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Tuhan.
Daftar
Pustaka
Al- Quran dan Terjemahnya, Jakarta :Depag
RI, 1984
Ahmad bin Muhammad bin Ya’qub al-Razi
“Miskawih”, Tahdzibu al-Akhlaq wa tathiru al-A’raq, (Beirut: Manshuratu dari
Maktabati al-Hayat,tth),51
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, ihya’
Ulumuddin, juz lll (Beirut,Daru al- kutub al-ilmiah,2008),68
Ibnu Maskawih dalam Rosihan Anwar, Akhlak tasawuf, (Bandung:
Pusaka setia, 2010),14
Jalaluddin Abdurrahman bn Abi Bakar al-suyuti,
Al-jami’u al-slaghir jus II, (Shirkah al-Nur Asia,tth), 24
[1] Al
Quran dan terjemahnya,(Jakarta:Depag RI, 1984), 216
[2] Al
Quran Dan Terjemahnya, 63
[3]
Jalaluddin Abdurrahman bn Abi Bakar al-suyuti, Al-jami’u al-slaghir jus II,
(Shirkah al-Nur Asia,tth), 24
[4]
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, ihya’ Ulumuddin, juz lll
(Beirut,Daru al- kutub al-ilmiah,2008),68
[5]
Ahmad bin Muhammad bin Ya’qub al-Razi “Miskawih”, Tahdzibu al-Akhlaq wa tathiru
al-A’raq, (Beirut: Manshuratu dari Maktabati al-Hayat,tth),51
[6]
Ibnu Maskawih dalam Rosihan Anwar, Akhlak tasawuf, (Bandung: Pusaka setia,
2010),14
[7]
Aktivitas vertical masuk ke dalam ruang lingkup pembahasan ilmu tasawuf
[8]
Al-quran dan terjemahannya, 391
Tidak ada komentar:
Posting Komentar